Mendaki Semeru, Pagi Di Ranukumbolo

Mahameru, mungkin nama puncak tertinggi di Pulau Jawa itu belakangan sering kita dengar. Bisa dibilang, film 5 cm menunjukkan sebuah efek yang cukup dahsyat untuk menjadikan gunung sebuah tempat wisata bagi banyak orang. Saya sendiri pertama mendengar nama Mahameru sekitar akhir era 90-an. Waktu itu saya mengetahui nama Mahameru dari kaset Dewa 19 hasil pinjaman, dan saat itu pula saya tidak tahu apa itu Mahameru. Sampai beberapa tahun kemudian, ketika warnet mulai menjamur, baru saya tahu ada sebuah gunung di Pulau Jawa bernama Gunung Semeru. Sedangkan Mahameru adalah puncaknya!

Setelah belasan tahun, pertengahan Juni 2014 kemarin saya akhirnya berkesempatan untuk mendaki Gunung Semeru. Atas ajakan (atau rayuan) teman bernama Perdhana yang pernah ke Semeru tapi gagal ke puncak, maka sejak awal tahun saya mencoba menyiapkan semuanya. Menyiapkan carier yang lama tak terpakai, jaket dingin, celana pendek, sepatu lapangan dan beberapa perlengkapan mendaki lainnya. Saya memang bukan pendaki serius, tapi saya tidak ingin menyusahkan orang lain dengan membawa perlengkapan yang minim!

Perlengkapan Mendaki Gunung Semeru

Hari Rabu, 18 Juni 2014, kami akhirnya berangkat dari kos di daerah Keputih Surabaya menuju terminal Purabaya. Selain kami, ada seorang teman lagi yang kami ajak, Hanung. Lebih tepatnya, kami paksa untuk ikut sebagai penunjuk jalan. Kami berangkat terlalu siang, jam 2 baru dari kos dan jam 3 baru mendapat bis patas tujuan Kota Malang. Sampai terminal Arjosari, kami naik angkutan menuju Pasar Tumpang.

Sampai Tumpang kami sudah kemalaman. Untungnya setelah mengalami beberapa masalah (baca : hati – hati di Pasar Tumpang), kami akhirnya bisa menuju ke Desa Ranupani yang menjadi pos awal pendakian. Kami tiba sekitar pukul 8 malam, langsung menuju warung makan dan memesan seporsi nasi goreng plus teh panas. Selesai makan, kami mendirikan tenda di tanah lapang yang terletak di depan pos pendaftaran pendakian Gunung Semeru. Kata Hanung, “sekalian aklimatisasi”. Yah, karena dia yang sudah pengalaman, kami berdua manut saja.

Paginya, tenda kami menjadi tenda terakhir yang ada di tanah lapang tersebut. Iya, kami kesiangan. Saya dan Perdhana langsung beres – beres dan packing barang, sementara Hanung mengurus administrasi. Setelah itu, kami langsung sarapan di warung yang semalam. Hanya saja kali ini kami memesan nasi rawon. Dan sumpah, rawon itu terasa nikmat juga menyegarkan. Kalau kata Perdhana, “besok bakal kerasa ini makanan mewah banget”. Kepingin nambah, tapi takut malah jadi sakit perut di perjalanan mendaki. Akhirnya saya tangguhkan.

Selesai sarapan, sekitar jam setengah 11 siang perjalanan kami mulai. Melewati pos gerbang pendakian, ternyata kosong tanpa penjagaan. Kami langsung saja memasuki jalur pendakian. 30 menit mendaki, saya mulai keteteran dengan nafas ngos – ngosan serta pundak yang terasa sakit. Untungnya Hanung yang berjalan di depan mengerti kondisi pemula seperti saya dan memberi jeda istirahat setiap berjalan 10 hingga 15 menit. Setelah 1 jam berjalan ternyata tubuh mulai beradaptasi dengan baik. Olahraga renang yang belakangan rutin saya lakukan ada efeknya, nafas mulai teratur walau keringat tetap menetes sebesar jagung.

Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan menahan berat beban

Di jembatan sebelum pos 3, kami bertemu dengan dua orang pendaki yang sedang bersantai dan bercanda. Sepertinya mereka sangat berpengalaman, terlihat dari bagaimana mereka bercanda dan berbagi pengalaman. Kami menyempatkan beristirahat di jembatan sembari menikmati minuman aloe vera yang mereka bagi. Tak lama datang kelompok pendaki suami istri yang juga sepertinya sudah pengalaman. Mereka cukup ramah, menyenangkan bisa bertemu dan berbagi cerita.

Danau Ranukumbolo Gunung Semeru
Dari sini, kami masih harus memutari danau untuk sampai lokasi mendirikan tenda

Pendakian kami tergolong sangat santai, mungkin Perdhana dan Hanung berusaha mengimbangi saya yang cukup lambat. Sekitar jam 3, kami sudah dapat melihat Danau Ranukumbolo dari kejauhan. Iya, dari kejauhan…banget. Karena perjalanan untuk mencapai lokasi tempat mendirikan tenda masih cukup jauh. Disini kami bertiga terpecah, Perdhana berjalan jauh di depan karena akan mendirikan tenda duluan. Saya berada di tengah, sedangkan Hanung entah jauh dibelakang. Sekitar jam 4 sore saya akhirnya sampai di tenda yang sudah didirikan Perdhana. Nggak sempat istirahat lama, saya langsung ambil air untuk masak makan malam.

Jam 7 malam, suhu Ranukumbolo makin menusuk. Saya memutuskan untuk guling – guling di dalam tenda saja lengkap dengan kaos kaki, sarung tangan, jaket dan sleeping bag. Tengah malam saya terbangun karena kedinginan, mencoba mengecek jam di layar handphone yang saya letakkan di atas kepala. Ternyata handphone saya basah oleh embun. Entahlah, saya mencoba tidur lagi dan berharap pagi segera datang…

Bertahan didalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo…Menatap jalan setapak
Bertanya – tanya sampai kapankah berakhir

Jam setengah 6 pagi saya terbangun dengan ramainya suara di sekitar tenda. Sepertinya pendaki – pendaki lain mulai sibuk menyiapkan sarapan dan bersiap untuk melanjutkan pendakian. Saya keluar tenda dan mengamati sekitar, sunrise tidak terlihat karena Danau Ranukumbolo tertutup kabut pekat. Perlahan matahari semakin tinggi, kabut mulai menipis. Sebuah keindahan yang sulit ditemukan sehari – hari. Pagi itu saya melihat secara langsung keindahan Ranukumbolo, surganya pendaki semeru…

Pagi Di Danau Ranukumbolo Semeru

Kabut Danau Ranukumbolo

Landscape Danau Ranukumbolo Semeru

Catatan perjalanan lanjutannya ada disini ya : Pendakian Semeru, Menuju Kalimati

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here