Tepat pukul 7 pagi saya mulai menuruni puncak Mahameru. Ternyata masih banyak pendaki – pendaki yang terus berusaha untuk sampai ke puncak. 3 atau 4 pendaki sempat menegur “puncak masih jauh mas?“. Enggak tega sih jawab jujur, cuma bisa bilang “dikit lagi kok. Semangat mas!”. Padahal…entah berapa lama saya naik dari tempat mereka nanya itu tadi. Salah satu pendaki yang hari sebelumya ketemu di Ranukumbolo juga menegur saya menanyakan hal yang sama. Sekaligus ngasih informasi, kalau si Perdhana tiduran di lereng bawah. Sial.
Sekitar 20 menit dari puncak, akhirnya saya nemuin juga tuh si Perdhana dalam posisi yang nyaman banget. Beralaskan ponco, pakai jaket komplit dan tidur nyenyak. Beneran nyenyak, karena orang lalu lalang dia santai aja ngorok. Setelah saya timpuk pasir, barulah dia bangun. Kami duduk ngobrol sambil menikmati matahari pagi dengan pemandangan yang super wah, sembari ngeliatin orang yang balapan lari turun sampai terguling. Ini beneran terguling, saya malah khawatir kepalanya terantuk batu.
Dari puncak Mahameru turun ke Kalimati, lutut saya benar – benar sakit, namun harus tetap saya paksakan jalan. Istirahat sebentar membayar tidur semalam, pukul 1 siang perjalanan pulang kami mulai. Pukul setengah 4 sore kami sampai di Ranukumbolo, Hanung ternyata sudah selesai berkemas. Kami packing ulang barang yang kami titipkan di Hanung, pukul 5 sore kami turun menuju Ranupani. Setelah memutari Ranukumbolo, kami sempat melihat Mahameru batuk asap tebal. Yah, sampai jumpa lagi Mahameru. Sekarang kami harus pulang.
Perjalanan pulang benar – benar menyakitkan buat lutut saya. Meski sudah dibantu dengan trecking pole, tapi tetap saja jalan saya terasa pincang. Apalagi jika track menurun. Pukul 9 malam kami baru sampai di Ranupani. Kami bertiga langsung beristirahat dan memesan 5 porsi nasi rawon. Sementara kaki saya, sudah tak bisa digerakkan lagi.
Tak mau buang waktu, Hanung gerak cepat mencari Jeep untuk angkutan kami ke Tumpang. Untungnya kami dapat angkutan murah malam itu, hanya 50 ribu seorang. Tapi saya harus diangkut ojek ke lokasi mobil Jeep, sementara Hanung dan Perdhana jalan kaki. Dari Tumpang, kami tertahan cukup lama menunggu angkutan ke terminal Malang. Pukul 1 malam kami sampai terminal, masih harus menunggu pukul 3 pagi untuk bus pertama menuju Surabaya.
Pukul setengah 6 pagi kami sudah menginjakkan kaki di kos. Perdhana langsung mandi, sementara saya langsung tidur dan tak sadarkan diri. Melelahkan, tapi saya tidur dengan rasa puas, dan senyum yang lebar!
Perjalanan kami ke Mahameru selama 4 hari 3 malam tersebut mungkin biasa saja, apalagi untuk mereka yang sudah sering naik turun gunung. Tapi buat saya yang baru itu merasakan dan mengalami langsung, merupakan pengalaman tersendiri. Saat itu sebelum turun, saya ditanya oleh bapak pemancing, “Enak kan naik gunung? kapan – kapan lagi lah!“. Saya spontan menjawab, “Enggak deh pak, capek, pegel, mana lutut sampe keseleo gini“. Beliau tertawa cukup keras lalu bilang, “Paling minggu depan sudah kangen makan mie di pinggir danau lagi“. Yang langsung disambut tawa kami semua.
Serius, naik gunung itu capek, lelah dan kadang emosi. Belum lagi butuh cukup banyak dana untuk ongkos dan persiapan. Tapi bapak itu benar, naik gunung itu ngangenin…