“Jika kamu bisa kembali ke masa lalu, kamu mau kemana dan ngapain?”
Selama belasan tahun, entah kenapa pertanyaan itu berulang kali muncul. Baik dari orang terdekat, orang yang aku harap bisa dekat, orang yang cuma kenal sampai di kertas permainan yang tengah populer. Sepertinya konsep time machine memang selalu menggoda imajinasi di setiap pikiran anak manusia.
Dan selama belasan tahun itu pula, aku hampir selalu bertahan dengan jawaban yang sama. Karena setiap langkah yang diambil adalah pilihan, semua yang terjadi itu anugrah. Dan kembali ke masa lalu untuk ‘memperbaikinya’ belum tentu memberikan hasil yang lebih baik di masa sekarang. Bagaimana jika jadinya lebih buruk?
Tapi entah kenapa belakangan aku merasa ragu dengan jawabanku itu. Terakhir aku bertemu pertanyaan itu dari sebuah kartu permainan. Dan untuk pertama kali, aku merubah jawabanku.
“Beritahu aku rahasia tergelap kamu, yang tidak semua orang tahu!”
Hei, ada yang salah dengan pertanyaanmu. Jika judulnya saja sudah rahasia, bagaimana mungkin aku bisa ceritakan. Bukankah itu nantinya berarti sudah tidak rahasia lagi? Apalagi yang kau minta adalah rahasia tergelap. Kata yang sulit untuk kudefinisikan.
Apa maksudmu dengan gelap?
Apakah rahasia dari kegiatanku di malam hari?
Malamku terang benderang. Pun pernah tinggal di daerah yang orang kira terpencil, aku jarang merasakan gelap. Listrik sudah ada di sana.
Atau saat di mana aku berkubang dalam dosa?
Bagaimana jika itu dosa yang tak kusesali, dosa yang di mana aku merasa duniaku menjadi lebih bercahaya dan menyenangkan. Apa itu masih bisa disebut tergelap?
“Untuk Siapa Kamu Menulis?”
Entah, aku terkadang benar-benar jengah dengan kalimat ini. Entah berapa kali kesenanganku terhenti karena terlalu sering perduli pada mereka-mereka yang terganggu dengan rangkaian kata yang kuunggah di social media.
Apakah setiap rangkaian kata harus ada ‘siapa’ yang dituju di sana?
Aku kasihan pada mereka yang senang menulis cerita misteri di mana ada pembunuhan sadis di dalamnya. Jika memang harus ada siapa, berapa kali dia harus keluar masuk penjara hanya untuk serangkai cerita. Padahal konsep fiksi dan non-fiksi itu cukup sederhana.
Apakah setiap ‘kamu’ itu harus tertuju?
Hei, itu hanya rangkaian kata. Tak melulu gambaran rasa. Objek sebagai kata, tak melulu objek dalam rasa. Hanya karena aku menuliskan aku benci kamu, tak berarti itu menggambarkan isi hatiku. Aku yakin kita cukup dewasa untuk memanipulasi kata. Dan aku yakin kita cukup dewasa untuk dapat memahami rasa.
Kata bukan rasa.
Hanya karena aku merangkainya, bukan berarti aku sedang mencurahkannya.
Bukan berarti. Pahami kata itu baik-baik. Karena bisa jadi memang itu yang sedang aku lakukan.
Untuk menarik perhatianmu.
Agar kamu tahu kalau setiap kata yang kutulis, adalah upayaku bercerita tentang tawa dan tangis. Dan setiap gambar yang kubagi, adalah topeng senyum yang menutup jerit dalam hati.
“Kenapa kamu menulis seperti ini?”
Tak perlu alasan. Terkadang aku tak tahu kemana harus bercerita hingga terlalu banyak kusimpan dalam kepala dan nyaris menjadi gila.
Ini hal yang sudah kulakukan sejak usiaku masih belasan. Dulu sempat kusebut hobi, kini tidak lagi. Bagiku menulis menjadi sebuah terapi, apalagi saat sedang ditinggalkan sendiri. Merasa ada yang mau mendengarkan, meski siapa yang mau membacanya aku tak pernah perduli.
Hei, sebelum bertambah pelik. Hanya karena aku menuliskan ‘merasa ada yang mau mendengarkan’, bukan berarti tidak ada mereka yang perduli. Terkadang aku hanya ingin bercerita tentang apa saja, tanpa perlu menjaga setiap kali lidah mengeluarkan kata.
Tanpa perlu menjaga hati yang mungkin saja tersakiti.
Jadi, hanya karena aku menulis hal yang menyedihkan, tak melulu aku sedang menangis. Hanya karena aku menulis cerita yang membuatmu tertawa, tak berarti aku sedang bahagia. Ini hanya tulisan. Caraku menenangkan pikiran. Caraku melawan lelah.
Tunggu…..
Sepertinya hari ini aku memang sangat lelah. Terlalu banyak kata dan rasa yang harus kucerna dalam waktu yang terlalu singkat. Mingguku hanya 24 jam, sayang rasanya untuk disia-siakan.
Dan sekarang aku ingin istirahat.
Tolong bangunkan aku nanti, saat waktunya kamu untuk terlelap.
Maaf merusak minggumu.
Nite. nite.