Beberapa hari ini kampus lagi diramaikan dengan video rekaman wawancara Ibu Walikota Surabaya di sebuah acara televisi, kalau enggak salah acaranya itu Mata Najwa. Iya, kampus saya yang memang terletak di Surabaya tentu didominasi oleh warga Surabaya. Jadi kemunculan Ibu Walikota serta polemik yang dihadapi dan penentuan sikap beliau, tentu menjadi perhatian masyarakatnya.
Sejujurnya, saya sendiri belum menonton video tersebut. Malah, saya kurang paham ada masalah apa sesungguhnya sehingga kalimat seperti “Ibu Risma nggak boleh mundur”, atau “Save Ibu Risma” itu makin ramai di Sosmed ataupun di sekitar saya. Tapi dari beberapa sumber, saya menarik kesimpulan sederhana : prestasi dan sikap tegas Ibu Walikota ini membuat gerah beberapa pihak, dan memberi beliau banyak tekanan.
Saya sendiri pernah berbincang dengan seorang supir taksi ketika masih awal – awal berada di Surabaya. Awalnya hanya dari kalimat saya yang sederhana, “Surabaya ini kota besar, tapi bersih ya pak. Ndak sampah dan semrawut dimana – mana”. Kemudian Bapak Supir tersebut langsung menimpali, “Iya mas, dari walikota yang baru ini si Ibu Risma itu. Tapi ya itu mas, beliau tu galak.”.
Saya : “Loh, galak gimana Pak?”
Supir Taksi : “Ya dia kadang subuh sudah keliling sekalian ke kantor. Kalau ada tukang sapu jalan yang males – malesan, ya dia ngamuk. Tapi habis ngamuk tu ya dia ikut bantu sapu jalan“.
Saya hanya tersenyum mendengar jawaban Bapak Supir Taksi itu, ternyata galak yang dimaksud adalah dalam hal yang positif.
Ibu Risma sendiri sebetulnya bukan orang pertama yang menghadapi hal ini. Sebelumnya tentu Indonesia dihadapkan dengan fenomena pemimpin Jakarta duet Jokowi – Ahok. Duet mereka yang seperti tidak akur, tapi justru membuat gebrakan hebat untuk merapikan kota Jakarta yang semakin semrawut. Jokowi dengan aksi blusukan dan sikap spontanitasnya, ditambah dengan Ahok yang frontal menghadapi hal yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan bersama. Buat saya duet dua orang ini keren!
Enggak cuma saya, media juga sangat menikmati aksi duet pemimpin ibukota ini. Mereka seperti menjadi selebritis baru yang diburu pekerja infotainment. Bedanya, mereka diburu oleh wartawan dari berbagai aspek, entah itu mencari berita sosial, ekonomi hingga mencari celah politik. Malah dalam beberapa kesempatan saya sempat membaca, kehadiran Gubernur dan Wakilnya ini lebih menarik perhatian dibanding kehadiran Presiden jika mereka tampil bersama. Menarik bukan?
Tapi ternyata yang menarik perhatian dari pemimpin – pemimpin seperti Jokowi – Ahok dan Bu Risma ini tidak hanya meliput kegiatan positif mereka saja. Tidak sedikit juga pihak berkepentingan yang ingin mencari berita dan kesempatan untuk menjelekkan mereka. Ya, mungkin kalau untuk Ibu Risma beliau lebih banyak menghadapi tekanan diluar media (saya kurang paham soal ini). Tapi kalau Jokowi – Ahok, di mata saya mereka seperti dihadapkan dengan pedang bermata dua.
Contoh nyata adalah ketika Jokowi mengeluarkan kebijakan bahwa pada hari Jumat pertama tiap bulan, PNS Pemda Jakarta dilarang bawa kendaraan bermotor. Tentu ini adalah hal yang menjadi kontroversi dan santapan untuk lawan politik Jokowi, ditambah kenyataan ternyata Ahok cuek saja bawa mobil sendiri. Kalau kita lihat di berita, ada beberapa media yang melontarkan pertanyaan ke kedua belah pihak yang sepertinya memiliki harapan bahwa Jokowi dan Ahok akan memberi jawaban saling serang dan sebagainya. Sayang, mereka masih adem ayem saja. Lagipula, dari sudut pandang saya, yang dilarang itu kan PNS. Memangnya Gubernur dan Wakilnya itu PNS ya? (beneran gak tau, karena setahu saya itu adalah jabatan politik)
Begitu pula waktu Jakarta dilanda banjir besar beberapa waktu yang lalu. Beberapa wartawan yang meliput dan ditayangkan di layar kaca seperti berlomba – lomba mewawancarai warga, dan sangat bersemangat ketika warga menjawab “Mana janji Pak Jokowi mengatasi banjir“. Untungnya kedua pemimpin itu santai saja menghadapi tekanan dan tuntutan para warga yang disampaikan oleh media. Mereka cuma santai menjawab, “Saya ini baru beberapa waktu saja memimpin. Membereskan warisan kerjaan puluhan tahun sebelumnya itu butuh waktu loh“.
Tapi dari banyaknya berita tentang Jokowi – Ahok, entah mengapa saya jarang menemui berita tentang kepuasan warga dari kepemimpinan mereka. Saya malah lebih sering membaca melalui blog dan forum tentang perkembangan Jakarta di tangan beliau. Contohnya saja pemanfaatan kembali waduk dan zona hijau kembali fungsinya, saya lupa waduk apa, tapi lokasi tersebut sekarang menjadi salah satu spot masyarakat untuk menikmati zona hijau dan rekreasi. Begitu juga banjir kemarin, saya yakin ada beberapa daerah yang biasanya banjir, namun tahun ini jauh berkurang namun tidak diliput media. Aneh bukan?
Tapi ya begitulah memang keadaan yang ada. Seperti kata orang tua kita bilang, semakin tinggi pohon, maka semakin besar pula angin yang menghantamnya. Tapi jika rakyat menginginkan, maka mereka akan menjadi akar yang kuat bagi pohon tersebut untuk melawan si angin.
Anyway, tulisan ini hanya pendapat pribadi saya sendiri. Bukan tulisan untuk menghadapi pemilu, ataupun kampanye, apalagi pesanan pihak tertentu. Semoga tidak menyinggung pihak manapun.