Celoteh Awal Ramadhan

Kalau kamu bukan anak ulama besar, bukan pula anak seorang raja, maka menulislah

~ Imam Al Ghazali

Kutipan tersebut sepertinya kurang pas buat saya. Jika diterjemahkan dengan pengetahuan saya yang pendek, yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah tulisan yang berisi, bisa dibagikan dan bermanfaat bagi orang lain.

Buat saya sendiri, menulis adalah bagian dari terapi. Cara yang bisa saya lakukan untuk menuangkan isi kepala yang mulai berkecamuk dengan pikiran-pikiran tak tentu. Banyak buruknya.

Kata orang, cari tempat untuk bisa bercerita. Cari pendengar yang baik untuk kamu menceritakan semua masalahmu.

Tapi buat saya, bercerita dengan lepas itu cukup sulit untuk dilakukan. Pun dilakukan, entah kenapa itu jarang berakhir dengan menenangkan. Lebih sering malah merasa terbebani.

Entah merasa membuat orang jadi terpaksa meluangkan waktu dan perhatiannya untuk mendengarkan saya bercerita. Atau merasa kecewa karena bercerita dengan penuh semangat, tapi seperti tidak mendapatkan semangat yang sama.

Atau malah, cerita saya membuat orang tersinggung.

Dan saya sangat menghindari itu semua.

Lagi pula, toh mereka-mereka itu punya masalahnya sendiri.

And obviously, i’m too broke to go to a psychiatrist!

Sebenarnya saya sendiri tidak tahu apa yang mau saya ceritakan. Tulisan ini pun dibuat dengan spontan, sambil menunggu waktu berbuka sekitar satu jam lagi. Waktu Indonesia Timur tentu saja.

Saat tulisan ini dibuat, cuaca di luar cukup baik. Langit penuh awan, namun matahari masih mampu membuat saya memicingkan mata.

Angin berhembus lumayan kencang. Sedang musimnya. Dan bagian atap rumah saya terus berbunyi keras tertiup angin. Kebetulan ada bagian yang terlepas dan belum sempat diperbaiki.

Berharap tidak bocor saja saat hujan. Malas beberes dan bersih-bersih kalau bocor, dan khawatir bocorannya menimpa meja kerja saja.

Bulan Ramadhan baru memasuki hari kedua. Hari pertama kemarin, asam lambung yang sudah menjadi kawan lama sukses berkunjung menjelang jam tidur seusai shalat tarawih.

Sekarang hari kedua. Alarm ternyata tidak menyala. Adzan subuh dari mushalla belakang rumah membangunkan saya seperti memberi tahu, “hei, kamu gak sahur ya!”.

Kombinasi sempurna, antara asam lambung dan tidak sahur. Saya sepertinya tidak sabar menunggu kejutan untuk puasa di hari ketiga.

Kondisi kulit masih panas dan perih. Penugasan di wilayah kepulauan kemarin, ditambah kebiasaan lupa memakai sunscreen membuat matahari dengan senang hati menyinari dan mewarnai kulit saya.

Sebagian kulit wajah sudah terkelupas. Beberapa sisi malah sudah terluka, iritasi karena kreatifitas jari -jari yang gatal ingin mengelupas kulit secara mandiri.

Sebuah kebodohan.

Haaahh, menulis tentang apa lagi ya?

Sebenarnya kalau sedang tidak jelas seperti ini, cara lain untuk pengalih perhatian selain menulis adalah dengan impulsive buying. Deretan iPad Air, Macbook Air, Nintendo Switch dan bass elektrik adalah beberapa buktinya. Belum lagi beberapa barang-barang perintilan yang entah sudah berapa lusin jadi paket pengiriman.

But again, i’m to broke!

Lagi pula, ada beberapa goals baru yang sudah saya tetapkan. Harus menabung.

Walau saya tahu beberapa goals tersebut tidak akan pernah tercapai, setidaknya dapat memotivasi pikiran saya untuk tetap berfungsi dengan normal.

Tiga puluh menit menjelang berbuka. Sepertinya dapat saya sudahi dulu.

Kalau kebetulan ada yang baca tulisan ini, terima kasih ya sudah meluangkan waktumu untuk membaca sampai akhir.

Tulisan berikutnya semoga lebih bermakna dan bisa memberi manfaat untuk yang baca. Sudah ada di draft, tapi males ngedit fotonya ~,~

p.s. foto pada postingan ini adalah jepretan pribadi dari kamera ponsel.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here