Setelah 2 tahun pandemi COVID-19 melanda dunia, akhirnya saya kebagian juga. Hari Kamis di akhir Februari 2022, tenggorokan terasa gak nyaman. Entah mengapa, perasaan langsung ngerasa kalau ini Covid. Malamnya, sukses meriang tanpa demam, tenggorokan agak gatal dan ngilu tulang sebadan-badan.
Hari Jumat saya masih menyempatkan diri untuk ikut rapat online lewat zoom, meski badan terasa menggigil. Ditemani secangkir teh hangat, menguatkan diri kalau ini cuma masuk angin atau flu biasa. Selesai rapat, izin ke bos untuk istirahat dan menceritakan kondisi kesehatan yang ada.
Malamnya, lagi-lagi tumbang. Meriang semakin parah, ngilu sebadan-badan sampai semua posisi tidur terasa tidak nyaman. Untungnya, (iya orang Indonesia banget dimana selalu ada UNTUNGNYA), saya tidak merasakan sakit kepala yang sangat menyakitkan seperti yang diceritakan orang-orang.

Sabtu pagi, saya melakukan tes antigen. Dari sedikit ilmu dan pengetahuan yang saya punya, saya melakukan tes antigen mandiri. Kebetulan saya memang memiliki stok untuk kontrol rutin mingguan, agar selalu tahu kondisi badan dan tidak menyebarkan virus kemana-mana. Hasilnya, garis dua. Saya positif COVID-19 berdasarkan hasil tes sendiri.
Tak pakai lama, saya langsung mengabarkan kerabat dan atasan kantor. Untungnya saya punya atasan dan kantor yang sangat supportif. Saya langsung ditawarkan untuk isoman di fasilitas yang disediakan kantor. Tapi karena saya memang cukup keras kepala, saya memutuskan untuk isoman sendiri di kosan. Hal ini disetujui tim kantor dengan catatan, kalau ada apa-apa langsung memberi kabar.
Untuk bekal isoman, saya langsung memesan buah-buahan segar di aplikasi online dan mengatur jadwal makan dengan ketat. Obat-obatan, susu dan penyegar disuplai oleh salah satu teman. Dan malamnya ditambah lagi kiriman vitamin, camilan dan madu. Yeah, selain punya misi menyembuhkan, isoman juga punya misi merusak diet yang baru seminggu saya lakukan.
Hal yang paling terasa buat saya saat isoman adalah makan apapun tidak enak. Hari Sabtu sampai Senin, badan rasa mau remuk, menggigil, ngilu, rebahan gak enak, duduk gak betah. Makan apapun terasa pahit, makan jeruk seperti membakar tenggorokan. Tapi semua tetap dipaksakan.
Setiap jam yang saya lakukan memeriksa kadar oksigen dengan oksimeter, minum air putih dan menghibur diri agar imun tetap terjaga. Kadang kalau malam menjelang tidur, tiba-tiba overthinking kalau mendadak sesak bagaimana, siapa yang bisa saya hubungi dan sebagainya. Sempat terbayang kalau bakal mati konyol sendirian di kamar kos, tapi langsung saya buang jauh-jauh pikiran buruk itu.
Saya sempat melakukan konsultasi online lewat salah satu aplikasi kesehatan. Oleh dokter saya diberi resep obat pengencer dahak dan obat (atau permen?) untuk melegakan tenggorokan. Tentu saja harus ditebus, karena saya tidak melakukan PCR di lab resmi yang tercatat. Untungnya kedua obat ini sangat membantu meredakan gejala yang ada.
Hari Selasa-Rabu, barulah gejala benar-benar mereda. Rasa meriang dan menggigil sudah jarang muncul. Tinggal batuk dan gatal tenggorokan yang tersisa. Camilan masih tidak berubah, jeruk dan roti terus mengisi perut. Air putih baik hangat dicampur madu ataupun air biasa terus saya jejalkan ke dalam perut. Kadang ditambah obat asam lambung sebagai camilan. Iya, rasa mual kerap kali muncul.
Seminggu sejak terdeteksi positif, saya lagi-lagi melakukan tes antigen dengan metode chidori. Cholok Idoeng Sendiri. Hasilnya, masih garis dua. Rasa sedih dan kecewa mendadak memenuhi mood seharian. Kenapa orang-orang hanya 3-5 hari sudah negatif, kok saya sampai 8 hari masih positif?
Untungnya tak berlangsung lama, saya kembali membangun mood untuk meningkatkan imun lagi. Senin pagi, hari ke-10 isoman, lagi-lagi saya tes antigen chidori. Hasilnya negatif. Untuk meyakinkan, saya ulangi lagi hari Selasa pagi, dan hasilnya lagi-lagi negatif. Yes, saya sudah sembuh!

Namun rasa takut menularkan ke orang-orang masih memenuhi diri. Jadi walau sudah negatif, saya masih melakukan isoman, setidaknya 3-4 hari ke depan. Toh, batuk yang menyertai masih tersisa dan cukup mengganggu aktifitas.
Hari ini, 14 hari pas sejak saya merasakan gejala pertama COVID-19 di tenggorokan. Rasanya sudah cukup isoman yang saya lakukan. Dua minggu yang benar-benar mengkhawatirkan untuk saya yang solo fighter di kosan seperti ini.
Meski ternyata Pemerintah memutuskan untuk memulai fase endemi, sepertinya prokes ketat masih harus diterapkan. Percayalah, kena COVID itu enggak enak banget. Apalagi untuk yang tinggal sendirian.
Stay safe. Stay healthy.
Waduh sama kek saya setelah 2 tahun baru kena covid pertama kali gejalanya juga mirip sekali dan belum lama juga tanggal 19 februari 2022 di hari sabtu juga , gejala pertama demam tinggi disertai pegal kesemutan di seluruh tubuh dan sakit tenggorokan yg berubah menjadi batuk kering yg tidak hilang , udah gitu persis juga sendirian dirumah bertaruh mati konyol wkwk untung udah sembuh sekitar semingguan cuma batuknya itu yg masih kerasa sampai sekarang … Btw nice artikel …