Dwayne ‘The Rock’ Johnson sepertinya sudah mematenkan dirinya sebagai aktor yang hanya memerankan manusia perfeksionis. Setidaknya, Dwayne akan memerankan tokoh yang pekerja keras, tak gampang menyerah dan mampu menghadapi semua masalah di hadapannya. Lihat saja contohnya di film Hercules, franchise Fast and Furious, bahkan di film yang semi drama komedi macam The Game Plan atau Tooth Fairy.
Dengan track record tersebut, rasanya tidak salah kalau kemudian Brad Peyton menunjuk Dwayne Johnson untuk menjadi pemeran utama di film yang yang berjudul San Andreas (2015). Dari plot cerita yang disiapkan, memang dibutuhkan aktor yang terlihat tangguh dan sanggup berbuat ‘keajaiban’, namun tampak ramah dan lebih terlihat seperti seorang family man daripada sekedar orang yang berotot. Dan bukan cuma itu, film bertema bencana dan bertahan hidup akan lebih menarik jika ikut menghadirkan wajah-wajah cantik dalam adegannya. Untuk itu, hadirnya Carla Gugino dan khususnya Alexandra Daddario adalah sebuah keputusan yang tepat!
Review Cerita Film San Andreas (2015)
Tak perlu menunggu lama, pembukaan film langsung diawali dengan tragedi kecil dengan sajian efek yang menawan. Bahkan dari efek yang ditunjukkan, saya sempat berfikir “jangan-jangan ini bikinan Michael Bay”. Ternyata bukan. Selanjutnya kehadiran tim penyelamat yang dipimpin oleh Ray (Dwayne Johnson) sudah tentu bisa ditebak akan melakukan segala cara dan keajaiban untuk membantu korban selamat dari bencana tersebut. Dan dari adegan pembuka ini, kita seperti sudah dapat bocoran akan seperti apa aksi-aksi penyelamatan ini nantinya.
Ray sendiri juga diceritakan memiliki latar kehidupan yang menjadi dasar untuk berjalannya cerita ke depan. Ia memiliki calon ex-wife cantik bernama Emma (Carla Gugino) dan seorang putri cerdas bernama Blake (Alexandra Daddario). Dan ketika bencana besar tiba melanda San Andreas, Ray dengan segala upaya berusaha untuk menyelamatkan keluarganya. Sayangnya, sedikit mengecewakan ketika aksi-aksi untuk menyelamatkan keluarganya seperti kalah menegangkan dibandingkan dengan aksi pembuka di awal film.
Alexandra Daddario sendiri tidak hanya menjadi sekedar pemanis film. Memerankan Blake, seorang gadis remaja yang menjadi putri dari seorang penyelamat pemberani, ia bermain apik dan sukses menggunakan keanggunannya untuk membuat film menjadi lebih berwarna. Lebih banyak berperan bersama Ben (Hugo Johnstone-Burt) dan Ollie (Art Parkinson), Alexandra Daddario sepertinya cukup sukses menghasut penonton untuk berfikir bahwa ini adalah film tentang dirinya dan sang ayah adalah sebuah cerita sampingan.
Cerita film tentang bencana alam sepertinya bukan hal yang baru. Bahkan plot cerita seperti kurang lebih sama dengan film jadul berjudul Volcano (1997), dimana ada ilmuwan yang sudah memprediksikan kemungkinan adanya bencana tersebut. Meski kemudian, peranan si ilmuwan dan si aktor plus jalannya cerita hanya seperti menjadi penggembira saja. Hanya saja kali ini Warner Bros menyajikan sesuatu yang dikemas lebih fresh, lebih menegangkan dan tentu saja dengan efek-efek yang cukup untuk memuaskan penonton.
Overall, film San Andreas mungkin bisa dibilang memiliki cukup kelebihan dibandingkan film bencana lainnya. Bahkan secara pribadi, saya akan beranggapan kalau film ini sedikit lebih baik dan masuk akal dibandingkan film 2012 yang sepertinya lebih sulit dan mustahil untuk bertahan hidup. Namun tetap saja, ini hanyalah sebuah film yang sudah pasti tidak bisa dibandingkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan. Menarik, menegangkan, menghibur meski tidak ada yang spesial di dalamnya. Dan rasanya, skor 6.8/10 tidaklah berlebihan.